Kunjungan saya ke mercusuar ini sebetulnya berbarengan dengan trip ke Anyer yang pernah saya tulis sebelumnya. Namun apa mau dikata , karena kesibukan sehari-hari baru kali ini sempat untuk posting secara lengkap.
Barangkali sudah sangat banyak yang menulis tentang mercusuar anyer, tapi saya coba menceritakannya lagi dari sudut pandang saya alias ‘his-story’ nya. Ditilik dari sejarahnya, keberadaan mercusuar Anyer alias mercusuar Cikoneng ini tidak lepas dari bukti eksistensi Belanda di tanah air. Nama resmi mercusuar ini sesuai yang tercantum di plakat besar Kementerian Perhubungan adalah “menara suar Cikoneng”.
Dibangun pada tahun 1885, mercusuar ini merupakan mercusuar pengganti mercusuar sebelumnya yang hancur akibat letusan gunung Krakatau 1883. Kalau dibaca di plakat yang terpasang di sisi depan dan belakang mercusuar, maka akan diperoleh info seperti ini:
“onder de regeering van
z.m.willem III koning der nedernlanden
enz enz enz
opgericht voor vast licht 2e grootte
ter vervanging van den steenen lichttoren
in 1883 by de ramp van krakatau vernield
1885“
yang kalau diterjemahkan di google translate (thanks Google!) artinya:
“di bawah kekuasaan
z.m.willem III Raja belanda
etc etc etc
didirikan tetap ringan ukuran 2*
menggantikan mercusuar batu
dihancurkan pada tahun 1883 oleh bencana Krakatau
1885“
*(yang ini agak aneh terjemahannya, barangkali ada yang paham bahasa belanda bisa dikoreksi)
sedangkan pada plakat di sisi belakang bertuliskan
“vervaardigd door de firma
l.i.enthoven & co
gravenhage
holland 1885”
yang berarti:
“diproduksi oleh
l.i.enthoven & Co
gravenhage
holland
1885”
Nah dari sisa mercusuar lama yang masih terlihat fondasinya dan plakat yang tertulis, dapat disimpulkan bahwa mercusuar sebelumnya terbuat dari bahan batu bata, sedangkan mercusuar baru didirikan dengan konstruksi baja (steel). Sebagai info tambahan, bekas fondasi mercusuar lama merupakan titik nol pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan zaman Daendels yang tersohor akan besarnya penderitaan rakyat Indonesia ketika ‘dipaksa’ untuk merampungkan proyek Gubernur Jenderal tersebut. Jadi terbayang bagaimana cara membangun menara besi semacam ini yah pada tahun 1885 di negara yang jauh dari pusat pemerintahan Belanda?
Dan ternyata di beberapa tempat juga masih terlihat sisa bata merah yang berserakan dengan ketebalan yang mungkin mencapai 50cm (atau lebih), entah apakah itu masih bagian dari mercusuar lama kah? hehe mungkin cuma ahli sejarah yang tahu jawabannya.
Puas berkeliling di bagian luar mercusuar, saya coba mengobrol dengan penjaga setempat untuk meminta izin menaiki menara setinggi 75,5 meter, dengan jumlah lantai total 18 (dihitung dari lantai dasar). Dan ternyata dipungut biaya seiklhlasnya untuk menaiki mercusuar tersebut, tanpa pikir panjang langsung saya iyakan saja. Tidak lupa sebelum menaiki lantai pertama, kami mengabadikan foto sekeluarga yang dibantu oleh pak Tripod.
Kamipun mulai menaiki tangga mercusuar ini dengan perlahan, dilihat dari struktur baja yang menyusun mercusuar ini, kesan kokoh dan kaku langsung terasa. Yang harus diwaspadai ketika ‘mendaki’ ke puncak adalah kondisi tangganya yang cukup curam, dan terkadang ada bagian yang sudah rapuh, wajar saja sebetulnya karena udara laut yang korosif pasti mempercepat kerusakan besi. Walaupun tanpa penerangan, kondisi di dalam mercusuar cukup terang, karena mercusuar ini dilengkapi dengan 7 jendela pada masing-masing sisi yang menghadap ke 4 arah mata angin. Kalau kebetulan sedang di lantai yang tidak ber- jendela suasana lembab pun langsung menyergap yang membuat keringat tambah bercucuran. Jangan lupa untuk membawa minuman segar yang bakal sangat dibutuhkan untuk rehidrasi ketika sudah sampai di atas.
Dari jendela yang menghadap ke laut kita bisa melihat dermaga yang menjorok ke tengah laut, menjadi spot favorit bagi para pemancing rekreasi. Pada sisi yang berlawanan kita bisa melihat pemandangan perbukitan di area Pandeglang, sedangkan pada sisi yang sejajar dengan bibir pantai, bisa kita lihat pemandangan garis pantai yang berliku.
Pada bagian puncak mercusuar, (lantai 16, ruang lampu suar dan balkon) bisa ditemukan banyak ornamen-ornamen klasik yang entah berasal dari tahun 1885 atau sudah mengalami peremajaan setelahnya. Pastinya kondisinya masih terbilang baik untuk daerah yang berlokasi di pinggir pantai yang terkenal dengan udara lembapnya yang korosif. Sayang sekali memang, tidak banyak yang bisa dibaca mengenai sejarah mercusuar Anyer ini, seakan semuanya membisu untuk ditelisik.
Nah mungkin spot yang paling unik di mercusuar ini adalah ruang lampu suar yang terletak di puncak menara, dikelilingi kaca di seluruh penjurunya suasananya benar-benar terasa pengap dan keringat pun terpancing untuk mengalir lagi. Di ruangan ini ada sebuah lampu suar dengan bentuk lingkaran dan dilapisi oleh cincin kaca tebal yang tersusun sekitar 6 tingkat dan direkatkan oleh kerangka tembaga yang terlihat sangat kokoh. Menurut cerita lagi, lampu ini memiliki panel surya sebagai sumber energinya (dan memang saya lihat ada 1 panel surya di bagian luar) dan bisa berputar secara mekanis tanpa bantuan tenaga manusia yang dapat dilihat dari roda-gigi pada bagian pangkal lampu suar. Sayang panel listrik yang mengatur cahayanya tidak tertata rapi, bisa-bisa kalau ada yang iseng bisa memutus aliran ke lampu suar dan mengganggu operasionalnya.
Angin Sejuk langsung menghantam ketika kami keluar menuju balkon yang posisi nya sejajar dengan lantai 16 (alias 1 lantai di bawah lampu suar) dan pemandangan laut lepas langsung menyambut. ‘It’s a beautiful view indeed!!’, gradasi laut dari hijau ke biru terlihat dengan jelas disini, dan pandangan tanpa batas, seakan melepas semua penat yang ada di kepala.
Bagi peminat wisata sejarah, jangan lewatkan situs yang satu ini manakala anda berkunjung ke pantai Anyer, dijamin pengalaman yang berbeda dari wisata pantai biasa akan membuat anda rindu untuk mengunjunginya lagi.
lokasi Mercusuar Anyer di google maps
Lihat Mercusuar Anyer di peta yang lebih besar
Badai
Panji Tri Atmojo
adi
Panji Tri Atmojo