Pada jumat tanggal 20 juni 2014 lalu, pekak atau kakek kami meninggal dunia pada usia 99 tahun 3 bulan. Rencananya jika beliau mencapai usia 100 tahun, keluarga besar akan mengadakan reuni untuk merayakan umur panjang beliau… Ternyata reuni tersebut terpaksa terjadi lebih cepat dalam keadaan berduka.
Bagi saya pribadi sebagai cucu, bisa dibilang tidak terlalu dekat dengan pekak, wajar sepertinya karena terpisah letak geografis dan minimnya interaksi langsung. Jadi suasana berduka tidak terlalu kuat terasa untuk saya. Namun, untuk putra dan putri beliau pasti beda rasanya manakala sosok orangtua yang merawat sejak kecil telah tiada. Pekak sendiri hingga akhir hayatnya beragama hindu, dimana secara tradisi akan “dimakamkan” melalui proses Ngaben. Sedangkan anak-anaknya cukup banyak yang menjadi muslim.
Masih teringat betul ketika beliau sudah berusia senja, anak dan cucunya selalu membangggakan bahwa kondisi beliau masih sangat sehat. Betul memang dalam usia diatas 90 tahun, saya masih dibuat kagum ketika beliau masih bisa berjalan sendiri dan bahkan berbelanja , dan konon tidak ada pantangan makanan – beliau tetap doyan minum kopi dan makan durian. Ketika beliau semakin tua, yang paling terasa ketika berinteraksi adalah selalu mengulang-ulang perkataannya atau cerita masa lalunya. Beliau selalu bercerita tentang asal mula namanya, yang terlahir sebagai Made Kredek hingga akhirnya dirubah menjadi Made Soekadana. Beliau juga selalu bercerita tentang pendidikannya zaman dahulu yang bisa dibilang terhitung cemerlang.
Untuk saya pribadi, kesan paling kuat dari Pekak adalah kesabarannya. Seumur-umur saya hanya melihat pekak marah 1 kali saja dan itupun tidak marah besar, dan orang-orang yang sering berinteraksi pun selalu membenarkan statement saya, “beliau sangat penyabar”.
Setibanya di Bali setelah mendapat kabar wafatnya pekak, saya tidak mendapatkan kesan berduka yang kuat karena konon acara ngaben harus dilaksanakan dalam kondisi suka cita, sebagai sebuah pertanda keikhlasan. Malam itu rumah duka ramai oleh para kerabat yang membantu mempersiapkan upacara Nyimpen di Geni. Upacara ini merupakan bagian dari ritual ngaben, yang merupakan rangkaian proses kremasi dan melarung abu. Karena satu dan lain hal upacara ngaben tidak bisa langsung dilaksanakan di kampung halaman pekak, sehingga harus didahului oleh upacara Nyimpen di Geni.
Menuju Krematorium
Pada Senin tanggal 23 Juni 2014 pagi hari, seluruh kerabat sudah bersiap-siap dengan menggunakan baju adat untuk prosesi upacara. Tepat pukul 10.00, jenazah Pekak dinaikkan ke Ambulance yang akan membawanya ke Krematorium yang berlokasi di daerah Nusa Dua. Perjalanan terasa singkat, karena kemacetan memang tidak terlalu parah juga tol laut yang baru sangat bermanfaat mempersingkat perjalanan. Sebelum jam 11.00 seluruh rombongan sudah merapat di krematorium.
Prosesi Nyiramang
Prosesi yang pertama kali dilakukan adalah Nyiramang, yaitu memandikan jenazah. Yang memandikan jenazah pekak adalah para kerabat dan (mungkin pemuka adat), karena pada umumnya saya tidak mengenal mereka. Setelah selesai dimandikan, jenazah pekak dibalut dengan kain yang menyerupai baju, kemudian dipasangkan udeng (ikat kepala) lengkap dengan bunga penghiasnya. Setelah itu, jenazah diperciki dengan air dari sebuah wadah yang mungkin sudah disucikan.
Setelah itu para anak-anak dipersilahkan bergantian untuk mencium kaki pekak, mungkin sebagai simbol tanda bakti anak kepada orang tuanya. Sesudah itu ada beberapa detil ritual lagi yang dilakukan, seperti mengerik bagian kuku tangan dan kaki, kemudian menaruh kaca di bagian mata jenazah, yang dilanjutkan dengan membungkus jenazah menggunakan kain putih dan anyaman bambu. Jenazah pun kembali diletakkan di dalam peti dan ditutup.
Kemudian upacara dilanjutkan dengan memanjatkan doa yang dipimpin oleh Pedanda, setelah itu perwakilan keluarga pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh kerabat yang telah hadir dan juga menceritakan sedikit riwayat hidup dan kebaikan Pekak.
Prosesi Kremasi
Sebelum prosesi kremasi, peti jenazah diangkut yang kemudian diusung keliling lokasi kremasi beberapa kali, jelas ada pesan di dalam proses tersebut, namun saya sendiri belum tahu apa. Akhirnya detik-detik menuju proses kremasi pun hadir, para anak-anak pekak terlihat lebih emosional dibanding sebelumnya. Perlahan peti jenazah didorong ke lorong kremasi dengan tutup terbuka. Setelah sempurna posisi peti jenazah, akhirnya pintu lorong pun ditutup, mungkin perasaan yang sama ketika melihat jenazah masuk liang lahat dapat dirasakan di momen ini… Kemudian anak tertua pun dipanggil, beliau akan mendapat tugas untuk menyulut lorong kremasi agar proses dapat dimulai. Terlihat betul kesedihan melanda Om Ketut ketika akan menyulut api, dengan sesenggukan minta maaf kepada pekak, beliau pun akhirnya merelakan api menyulut lorong kremasi. Terlihat api besar langsung menyala memenuhi lorong kremasi.
Setelah hampir 2 jam, gerbang penutup krematorium pun dibuka. Tidak terlihat satupun sisa peti jenazah disana. Namun ketika diperhatikan dengan seksama, pada wadah bagian bawah pendorong kremasi, kini dipenuhi oleh sisa pembakaran, berupa padatan putih dan padatan hitam.
Ternyata padatan putih adalah tulang yang tersisa dari proses kremasi. Wadah panas tersebut pun dipindahkan oleh petugas kremasi, yang dilanjutkan dengan menyiramkan air ke permukaannya supaya mendingin segera. Asap langsung mengepul, menandakan wadah tersebut masih sangat panas. Anggota keluarga pun dipanggil untuk mendekat, dan diinstruksikan untuk mengambil sisa tulang dari wadah. Tulang-belulang tersebut kemudian dipindahkan ke sebuah wadah yang terbuat dari bambu. Setelah cukup banyak tulang yang terkumpul, air suci pun dituangkan untuk membilas nya.
Tulang-belulang tersebut kemudian dibawa ke sebuah meja, dan seorang kerabat (yang kebetulan berprofesi sebagai dokter) menyusun tulang-belulang itu. “Sisa tulang kepala diletakkan di bagian kepala, sisa tulang tangan diletakkan di bagian tangan, dan seterusnya” ujar sang kerabat. Setelah disusun, sekilas nampak seperti susunan tulang manusia yang berukuran mini, mungkin diumpamakan seperti bayi kembali. Setelah lengkap, tulang belulang tersebut dibalut dengan kain putih, menyerupai bentuk jenazah bayi. Seusai membungkus, rombongan diisyaratkan untuk menuju Pantai Padang Galak di area Sanur untuk melanjutkan prosesi melarung.
Prosesi Melarung
Setibanya rombongan di Pantai Padang Galak, Sanur, prosesi langsung dilanjutkan dengan beberapa kerabat mengiringi jasad pekak menuju ke bibir pantai. Jasad Pekak, diusung di atas kepala, sedangkan kerabat lainnya memayungi sang pembawa jasad dan mengiringi. Sesampainya di bibir pantai, sebuah perahu bercadik sudah menunggu untuk mengantar jasad ke tengah laut. Dipindahkanlah jasad pekak dengan berhati-hati ke para pengiring yang akan ikut naik kapal. Sayang saat itu ombak kurang bersahabat, sehingga saya tidak bisa ikut serta di atas kapal untuk menyaksikan proses pelarungan. Dari yang saya dengar, jasad pekak sudah dilarung dengan lancar yang diikuti dengan melarung beberapa benda sebagai “bekal” kelak. Prosesi melarung ini terbilang singkat, dan posisi melarungnya pun tidak terlalu jauh dari bibir pantai mungkin hanya berjarak 100 meter saja.
Tuntaslah sudah seluruh rangkaian upacara Nyimpen di Geni.
Akhirnya seluruh elemen fisik pekak pun kembali ke bumi…
Selamat Jalan, Selamat Beristirahat Pekak…
si denok