Definisi

Bioetanol (bioethanol) merupakan etanol (etil alkohol) yang proses produksinya menggunakan bahan baku alami dan proses biologis, berbeda dengan etanol sintetik yang diperoleh dari sintesis kimiawi senyawa hidrokarbon. Etanol yang digunakan sebagai bahan bakar kendaraan memiliki struktur kimia yang persis sama dengan etanol yang ditemukan pada minuman keras. Etanol yang digunakan untuk bahan bakar disebut dengan Fuel Grade Ethanol (FGE) dengan tingkat kemurnian 99.5%

Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk produksi bioetanol terbagi menjadi :

1. Gula (glucose)

Gula (glukosa) merupakan bentuk bahan baku yang paling sederhana dengan rumus kimia C6H12O6 , berbeda dengan pengertian gula sehari-hari yang mengandung sukrosa, laktosa dan fruktosa.

Gula dapat diperoleh dari tebu (sugarcane) melalui hasil sampingan produksinya berupa tetes (molases). Sebagai bahan baku bioetanol, glukosa dapat langsung digunakan dalam proses peragian.

2. Pati (starch)

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojoPati banyak ditemukan pada jagung,  singkong, sagu dan beragam makanan pokok manusia yang mengandung karbohidrat. Rumus kimia dari pati adalah (C6H10O5)n dengan jumlah n antara 40 – 3.000. Sebagai bahan baku bioetanol, pati membutuhkan proses untuk memecah ikatan kimianya menjadi glukosa. Proses yang umum dilakukan adalah dengan penambahan enzim amylase untuk menghidrolisis menjadi glukosa. Penggunaan bahan pati sebagai bahan baku bioetanol secara umum akan bersaing dengan cadangan pangan bagi manusia, yang pada akhirnya akan meningkatkan harga bahan pangan.

 

3. Selulosa (cellulose)

Selulosa merupakan polisakarida dengan rumus kimia (C6H10O5),dengan jumlah n ribuan hingga lebih dari puluhan ribu, yang membentuk dinding tanaman dan kayu. Selulosa merupakan senyawa organik yang paling banyak jumlahnya di muka bumi. Sekitar 1/3 komposisi tanaman adalah selulosa yang tidak tercerna oleh manusia. Karena tidak bersaing dengan bahan pangan, maka selulosa diperkirakan akan mendominasi bahan baku bioetanol di masa mendatang. Sebagai bahan baku bioetanol, selulosa membutuhkan pengolahan awal yang lebih intensif dibandingkan dengan bahan baku lain.

Untuk melakukan proses hydrolysis (merubah struktur selulosa menjadi glukosa) dapat ditempuh menggunakan penambahan asam yang dilarutkan pada suhu dan tekanan tinggi. Proses tersebut membutuhkan energi yang cukup besar sehingga net energy gain yang dihasilkan menurun. Selain itu kondisi yang asam akan menggangu proses fermentasi lanjutan, sehingga dibutuhkan proses perantara untuk menetralkan keasaman.

Proses Produksi

Bahan baku harus melalui proses pre-treatment dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan glukosa bahan semaksimal mungkin sebelum memasuki tahap fermentasi. Kandungan glukosa ditingkatkan dengan merubah bentuk gula kompleks (polisakarida) menjadi gula sederhana. Proses pre-treatment sangat bergantung dari tipe bahan baku yang digunakan.

Proses produksi bioetanol dilakukan melalui proses fermentasi yang menghasilkan alkohol dengan kadar rendah. Proses fermentasi merubah bahan baku glukosa menjadi alkohol dan residu karbon dioksida. Pada proses tersebut dibutuhkan bantuan ragi saccharomyces cerevisae dengan persamaan kimia sebagai berikut:

C6H12O6 → 2 CH3CH2OH + 2 CO2

Proses fermentasi menghasilkan alkohol dengan kadar maksimal hanya 7 – 9% ( 15% jika menggunakan strain ragi yang paling tahan alkohol). Untuk meningkatkan kadar etanol hingga mencapai Fuel Grade Ethanol (FGE) 99.5% dibutuhkan proses penyulingan (distillation) dan dehidrasi (dehydration). Proses penyulingan akan menghasilkan etanol dengan kadar maksimum 95.6% dan tidak bisa ditingkatkan lagi karena sifat azeotrope larutan etanol-air.

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

sumber: Panji Tri Atmojo, 2010

Untuk meningkatkan konsentrasi etanol hingga mencapai FGE dilakukan proses dehidrasi dengan beberapa metode antara lain:

1. Azeotropic Distillation

Penambahan benzene pada larutan alkohol-air untuk menghilangkan sifat larutan azeotrope. Dibutuhkan proses tambahan untuk memisahkan benzene dari larutan alkohol.

2. Molecular Sieve

Penambahan zat adsorbent untuk memerangkap air dari larutan etanol-air. Zat adsorbent yang jamak digunakan antara lain zeolite. Dalam proses yang lebih sederhana dapat digunakan kapur gamping (CaO) bubuk yang dilarutkan dalam larutan etanol-air.

3. Membrane Pervaporation

Proses pervaporation menggunakan membran porous atau non-porous untuk memfilter fase gas dari larutan azeotrope alkohol-air. Proses ini diklaim mengonsumsi energi relatif rendah karena memanfaatkan tekanan dan suhu rendah.

Produsen

Hingga tahun 2009, Amerika Serikat merupakan negara produsen biofuel terbesar di dunia, yang diikuti oleh Brazil di posisi kedua. Produksi bioetanol di Amerika Serikat didominasi oleh bahan baku jagung dan kedelai, sedangkan proses produksi bioetanol di Brazil didominasi oleh bahan baku tebu (sugarcane), mengingat Brazil merupakan produsen tebu nomor 1 di dunia.

Dari data produksi bioetanol 2007 – 2009, Brazil menunjukkan efisiensi tertinggi dalam pemanfaatan lahan untuk bahan baku bioetanol. Yang berarti dibutuhkan lebih sedikit lahan untuk menghasilkan sejumlah volume bioetanol.

Penggunaan

Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor bervariasi antara blend hingga bioetanol murni. Bioetanol sering disebut dengan notasi “Ex”, dimana x adalah persentase kandungan bioetanol dalam bahan bakar. Beberapa contoh penggunaan notasi “Ex” antara lain:

  1. E100, bioetanol 100% atau tanpa campuran
  2. E85, campuran 85% bioetanol dan bensin 15%
  3. E5, campuran 5% bioetanol dan bensin 95%

Pertamina telah menjual biopremium (E5) yang mengandung bioetanol 5% dan premium 95%. Bahan bakar E5 dapat digunakan pada kendaraan yang menggunakan bensin (gasoline) standar, tanpa modifikasi apapun. Namun, bahan bakar E15 ke atas atau persentase bioetanol lebih dari 15% harus memanfaatkan kendaraan dengan tipe Flexible-Fuel Vehicle. Brazil sebagai salah satu negara yang menggunakan bioetanol terbesar di dunia, telah mengadopsi bahan bakar E100, dimana kandungan bioetanol 100%.

Bioetanol dengan kandungan 100% memiliki nilai oktan (octane) RON 116 – 129, yang relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bakar premium dengan nilai oktan RON 88. Karena nilai oktan yang tinggi, bioetanol dapat digunakan sebagai pendongkrak oktan (octane booster) untuk bahan bakar beroktan rendah. Nilai oktan yang lebih tinggi pada bioetanol juga berpengaruh positif terhadap efisiensi dan daya mesin.

Penggunaan bahan bakar E10 dan E20 memiliki performa (power dan force) yang lebih baik untuk mesin, seperti tercantum dalam tabel pengujian berikut:

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

Sumber: Lab BTMP-BPPT, 2006

Sayangnya untuk menghasilkan power dan force yang lebih tinggi, dibutuhkan bahan bakar E20 dalam jumlah lebih banyak per jam relatif terhadap Pertamax. Untuk nilai fuel consumption / power bahan bakar pertamax memberikan hasil yang terbaik diikuti oleh E20 dan E10. Secara umum, pencampuran premium dengan bioetanol memberikan dampak yang baik bagi performa mesin.

Emisi

Penggunaan bioetanol juga mampu mengurangi emisi gas beracun (CO dan HC) yang umum ditemukan pada pembakaran bensin. Hal tersebut disebabkan oleh air-fuel ratio yang lebih baik pada bioetanol sehingga menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna. Namun sayangnya justru emisi NOx lebih tinggi dibandingkan pembakaran bahan bakar premium.

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

 sumber: Reksowardojo, 2006

Selain emisi gas beracun, emisi karbon dioksida (greenhouse gas) juga menjadi perhatian utama dalam pemilihan bahan bakar yang ramah lingkungan. Pembakaran bioetanol E100 akan menghasilkan sekitar 1.5 kg gas rumah kaca, sedangkan pembakaran 100% oktana (octane) menghasilkan sekitar 2.1 kg gas rumah kaca. Menurut data EPA (Environmental Protection Agency) pembakaran 1 Liter bensin akan menghasilkan sekitar 2.3 kg gas karbon dioksida.

Daftar emisi karbon dioksida pada pembakaran bahan bakar secara sempurna diringkas sebagai berikut:

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

sumber: Panji Tri Atmojo, 2010

Dalam bentuk persentase, pembakaran bioetanol (E100) mengurangi sekitar 45% emisi karbon dioksida dibandingkan pembakaran oktana. Namun perbandingan emisi pembakaran E10 terhadap oktana hanya menghasilkan penghematan sekitar 4%, angka yang kurang signifikan untuk mengurangi efek gas rumah kaca.

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

Sumber: Panji Tri Atmojo, 2010

Dalam proses produksi bietanol dari awal hingga akhir terdapat beberapa tahapan umum yang selalu dilalui yaitu proses produksi bahan baku dan proses produksi bioetanol dari bahan baku. Dalam seluruh rangkaian proses tersebut terdapat siklus energi dan karbon dioksida (juga biaya) yang terlibat.

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

 sumber: Panji Tri Atmojo, 2010

Bioetanol – Bahan Bakar Nabati | the atmojo

 sumber: Panji Tri Atmojo, 2010